Langkah Revolusioner Wayan Koster untuk Bali
Masyarakat Bali pasti mengetahui sosok Wayan Koster. Pria kelahiran Desa Sembiran, Kabupaten Buleleng, Bali ini selain dikenal sebagai seorang gubernur juga dikenal sebagai politisi yang memimpin partai terbesar di Pulau Dewata.
Berstatus sebagai Gubernur Bali periode 2018-2023 tingkat kepopuleran Koster di kalangan lapisan masyarakat tentu sangat tinggi. Mulai dari orang tua, dewasa, anak muda, orang kaya, kelas menengah, sampai kelas bawah. Popularitas Koster tersebut sayangnya juga datang dari hal-hal kontroversial saat ia menjabat gubernur. Misalnya, saat ia mempopulerkan kopi campur arak (minuman alkohol tradisional khas Bali) untuk membentengi diri dari virus Pandemi Covid-19.
Akibat seruan tersebut, Koster sempat dijuluki gubernur arak. Bagi yang persepsinya negatif, Koster malah dianggap mengajak masyarakatnya untuk mabuk-mabukan. Terlepas dari hal tersebut, jika kita meneliti dan melihat apa yang telah dilakukan Koster selama lima tahun memimpin Bali, maka kita akan melihat sosok Koster sebagai sang revolusioner, seorang pemimpin yang berhasil membangun fondasi-fondasi penting bagi masa depan pulau Bali.
Kemudian, seorang pemimpin berpikiran jangka panjang, yang tidak terjebak pada kepentingan-kepentingan elektoral sementara. Namun berpikiran strategis agar pulau yang ukuranya kecil ini dapat terus relevan di tengah tantangan global ataupun nasional.
Sebagai seorang gubernur, Koster tentu sangat paham dan mencermati apa saja tantangan dan kebutuhan Bali untuk dapat merespon dinamika global dan nasional yang sangat kompleks. Menurut penulis, kemampuan pencermatan inilah yang membuat Koster bisa menelurkan kebijakan-kebijakan yang revolusioner.
Ada banyak kebijakan revolusioner yang dilakukan Koster mulai dari pembentukan regulasi sampai pada pembangunan infrastruktur, namun penulis dalam kesempatan ini hanya berfokus pada kebijakan regulasinya.
Ada dua kebijakan yang akan dibahas. Dua kebijakan tersebut yaitu Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Adat dan Perda tentang Pungutan Wisatawan Asing. Mengawali kepemimpinannya sebagai Gubernur Bali, Koster langsung menggunakan langkah kudanya untuk menelurkan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Konon katanya dalam proses harmonisasi dengan Kemendagri Perda tersebut sempat mau ditolak, namun berkat kegigihan Koster memperjuangkan akhirnya Perda tersebut bisa berlaku.
Perda 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat membawa semangat tentang perlindungan dan penguatan desa adat di Bali. Koster memahami bahwa Bali tidak seperti provinsi lainya di Indonesia yang memiliki sumber daya alam seperti minyak bumi, gas, emas, batu bara ataupun bahan lainya yang bisa ditambang untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Bali yang ia pimpin hanya bermodal budaya dan kearifan lokal unik yang kemudian bisa menarik jutaan wisatawan untuk datang ke Bali setiap tahunya. Koster menyadari sebagai daerah wisata, Bali adalah tempat terbuka, tidak hanya bagi kedatangan turis namun juga terbuka dengan kedatangan ideologi-ideologi baru seperti kapitalisme dan konsumerisme
Konsekuensi dari kedatangan ideologi tersebut adalah mulai tergerusnya budaya dan kearifan lokal yang dimiliki Bali. Ketika budaya dan kearifan lokal hilang maka implikasinya adalah Bali akan mulai ditinggalkan oleh wisatawan lantaran tidak menarik lagi untuk dikunjungi. Sehingga akan mempengaruhi ekonomi masyarakat.
Atas dasar itu, perlindungan dan penguatan desa adat menjadi penting dan strategis mengingat Desa Adat merupakan wahana penting bagi keberlangsungan ekspresi budaya dan kearifan lokal Bali. Tidak hanya melindungi dan menguatkan namun juga memberdayakan desa adat melalui bantuan insentif kepada aktor-aktor penyokong desa adat seperti pecalang, Bendesa, dan pemangku.
Dengan terlindunginya budaya dan kearifan lokal Bali, maka keberlangsungan Bali pun akan tetap terjamin. Kebijakan revolusioner Koster berikutnya adalah Perda Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan Wisatawan Mancanegara (Wisman). Secara garis besar peraturan ini adalah jawaban atas permasalahan minimnya anggaran untuk pulau Bali dan keinginan untuk meningkatkan kualitas pariwisata Bali.
Bali dengan berbagai pekerjaan rumah yang komplek seperti sampah, transportasi publik, pemerataan pembangunan, sangat minim memiliki anggaran untuk dapat mengeksekusi semua pekerjaan tersebut. Untuk itu Perda ini merupakan angin segar bagi Pulau Dewata. Melalui Perda tersebut setiap wisatawan mancanegara yang datang ke Bali akan dikenai pungutan sebesar Rp 150 ribu.
Jika di rata-rata jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali sebanyak 5 juta per tahun, maka kontribusi pungutan wisatawan yang didapat sebesar Rp 750 milyar. Dengan tambahan anggaran tersebut tentu persoalan seperti sampah, kemacetan dan pemerataan pembangunan dapat teratasi.
Disamping itu, pada sisi yang lain, kebijakan pungutan untuk wisatawan asing juga bisa menjadi filter untuk menyaring wisatawan mancanegara yang pergi ke Bali agar menjadi wisatawan berkualitas. Sampai saat ini Bali mengalami problem lanjutan akibat penerapan mass tourism. Banyak wisatawan ke Bali sebetulnya tidak memiliki uang untuk dibelanjakan di Bali. Di Bali mereka mencari pekerjaan sehingga mengambil lapangan pekerjaan pendudukan lokal. Tak jarang mereka juga berbuat onar. Akibatnya citra Bali sebagai pulau surga pun tercemar. Dengan penerapan kebijakan pungutan bagi wisatawan asing ini tentu diharapkan dapat mengurai dan menyelesaikan problem-problem tersebut.
Berita Terkait Lainnya>
Relawan Madura Deklarasikan Dukungan untuk Koster-Giri dan Adi-Cipta
24 November 2024
306Giri Prasta Membangun Kabupaten Badung Melalui Digitalisasi & Inovasi
24 November 2024
256Desa Dalung di Badung All Out Dukung Adicipta dan Koster Giri
24 November 2024
357Tanggal 27 Nomor 2 yang Dituju, Koster-Giri Pastikan Adat, Budaya, dan Kearifan Lokal Bali Lestari
24 November 2024
Pidato Lengkap Megawati Saat Pembukaan Kongres IV PDIP
Paduan Suara PDI Perjuangan BALI - Juara I